Awal Kita
Mari mundur sedikit– mengingat bagaimana Aruna dan Radika bertemu.
Sebuah cerita lampau yang bermula lima tahun lalu, di sebuah lapangan basket, tengah malam.
Kala itu, Radika tengah merasa hampir putus asa. Setelah gagal dalam seleksi pemilihan anggota basket nasional, timnya mengalami banyak kekalahan.
Belum satu pun pertandingan yang mereka menangkan sejak saat itu. Terlebih kekalahan terakhir, lawannya menginjak harga diri mereka. Dengan poin 11-111, dengan poin akhir yang mereka dapatkan dari hasil bunuh diri tim lawan.
Banyak yang terjadi setelahnya. Teman-temannya yang semula terpuruk satu per satu mulai bangkit– kecuali dirinya.
Radika mulai berpikir dirinya membenci basket, mungkin ini waktunya dia berhenti bermain basket dan mencari pekerjaan tetap. Hingga suatu hari dia bertemu dengan Aruna di sebuah lapangan basket usang ketika dirinya sedang bermain sendirian di tengah malam.
Ada sosok yang berlari begitu cepat dan memasukkan bola ke dalam ring. Dia bahkan tidak tahu kapan tepatnya sosok itu merebut bola darinya.
Awalnya Radika berpikir, mungkin itu adalah makhluk halus sebab ini tengah malam hingga sebuah kalimat menyapa pendengarannya.
“Ngapain main basket kalo jiwanya ada di tempat lain? Udah kayak cangkang kosong.”
Radika membalas dengan tatapan tajam. Menatap sosok yang tenggelam dalam balutan hoodie abu-abu yang dikenakan sosok itu.
“Tangan.” Ujar sosok itu kala Radika mencoba tak memedulikan kehadirannya.
“Tangan lo keliatan kaku, gak nyaman. Kenapa? Cedera? Atau abis jatuh?”
Pertanyaan itu membuat Radika tersadar. Ada perbedaan yang dia rasa pada pergelangan tangannya dan sedikit terasa tidak nyaman. Lalu setelah dia pikir-pikir, dia memang sempat terjatuh ketika bertanding– entah di pertandingan yang mana.
“Gak usah ngurusin orang lain. Ngapain bocah kayak lo disini? Sana pulang dicariin Mak lo nanti.”
Sosok itu mencibir kemudian melakukan shoot dari tempatnya berdiri membuat Radika sedikit terperangah. Dengan jarah sejauh ini dia bahkan tidak bisa melihat dengan jelas di mana letak ring berada sebab pencahayaan yang seadanya– remang-remang, tak terlalu membantu dalam penglihatan jarak jauh.
“Kalo emang cedera kenapa gak langsung dirawat? Yang rugi kan lo juga. Atlet tuh harus ngejaga kaki sama tangan baik-baik.”
“Kenapa lo tau gue atlet?”
“Gak tau. Auranya aja bilang begitu.” Jawabnya seraya melenggang mengambil bola yang sebelumnya dilempar.
Radika mendengus, sedikit tertawa entah kenapa dia merasa lucu.
Malam itu, mereka sedikit bermain-main. Radika yang semula berpikir ingin berhenti bermain basket tak lagi berpikir seperti itu. Pemikiran itu seketika hilang ketika berhadapan dengan Aruna. Yang ada dalam pikirannya saat itu– dia hanya ingin mengalahkan anak ini.
“Main lo jago. Kenapa gak gabung tim basket aja?”
“Udah kok.”
“Oh ya? Tim mana?”
“Drakneel. Tau nggak?”
Radika menggeleng. Belum pernah dia mendengar nama tim basket itu atau melawan mereka. Mungkin tim baru, pikirnya.
“Ah... emang kurang terkenal sih. Tapi karena gue udah gabung, gue bakal bikin nama Dragkneel jadi besar dan dikenal orang-orang. Lebih besar dari Iron... man?”
Dahi Radika mengerut kala mendengar Aruna yang salah menyebutkan nama timnya.
“Iron Dwarf.” Ucap Radika mengoreksi.
“Nah iya itu. Susah sih namanya.”
“Udah gabung berapa lama?” tanya Radika seraya menilik rupa Aruna di bawah lampu temaram. Sedikit tidak percaya dengan rupa Aruna yang dia lawan beberapa belas menit yang lalu.
“Baru dua bulan dan baru masuk tim inti minggu lalu.”
“Oh cepet juga. Gue dulu enam bulan baru bisa masuk tim inti.”
“Wah... keren ya.” Balas Aruna, dengan nada serta senyum yang sedikit meledek dirinya. Tetapi Radika sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Aruna yang baru saja mengudara.
Seiring berjalannya waktu perasaan mulai hinggap di dadanya. Padahal jika dipikir-pikir, Aruna adalah rivalnya.
Tapi begitulah akhirnya. Setelah mendekati Aruna selama kurang lebih satu tahun, mereka mulai berkencan diam-diam.