dan, Usai
Malas sekali rasanya pergi latihan hari ini. Akan tetapi benar kata Elang dua hari yang lalu mereka sudah memiliki pelatih baru jadi mau tak mau Aruna harus datang.
Setibanya di tempat latihan Aruna bergegas menuju ruang ganti, menyimpan tasnya di loker lalu mengganti sepatunya dengan sepatu basket.
Sebelum menutup pintu loker, Aruna menatap layar ponselnya.
Sedang apa Radika sekarang? Lelaki itu pergi pagi-pagi sekali karena sudah mulai bekerja. Memikirkan Radika yang kemungkinan akan sibuk dengan pekerjaannya dan sedikit waktu untuknya membuat Aruna sedikit mulai kesepian. Padahal ini baru hari pertama Radika bekerja.
Aruna lantas menuju lapangan, bergabung dengan yang lainnya yang tengah melakukan pemanasan. Matanya sesekali melirik Halim dan Yasa yang tengah melakukan pemanasan berpasangan diselingi dengan canda atau Halim yang iseng sesekali mengecup bibir Yasa lalu tertawa bersama membuat suara tawa keduanya terdengar memenuhi lapangan.
Enaknya memiliki kekasih yang berada di satu lingkungan.
Iri.
Suara tepukan tangan sebanyak dua kali menyapa indra pendengaran, sontak semua yang berada di lapangan menghentikan kegiatan masing-masing.
“Selamat pagi semuanya!” Sapa seorang lelaki mengenakan kemeja putih dan setelan jas serta celana hitam disertai dengan dasi hitam pula– yang barusan membuat suara tepukan menghentikan kegiatan mereka.
Mata Aruna membulat– terkejut, tidak percaya dengan sosok yang dia lihat di hadapannya. Tidak hanya Aruna yang lain pun sama terkejutnya. Tidak menyangka lelaki itu berada di sini.
“Saya Radika Aryasatya yang menjadi pelatih kalian mulai sekarang. Salam kenal dan mohon kerja samanya.”
Hening. Mereka masih terkejut. Sebab tepat satu tahun yang lalu Radika mengumumkan kabar pensiunnya dan kini lelaki itu berdiri di hadapan mereka sebagai pelatih. Dalam dunia basket tidak ada yang tidak mengenal Radika, jadi ini sulit untuk dipercaya.
“Lanjutkan saja pemanasannya. Aruna, bisa ikut saya sebentar?”
Aruna lantas berlari kecil mengikuti Radika keluar lapangan.
“Kok kamu di sini sih?”
“Kejutan?”
Aruna lantas menghambur ke dalam pelukan Radika yang langsung dibalas pelukan erat oleh yang lebih tua. Senyumnya mengembang, dia merasa bersemangat sekarang. Tidak pernah dia bayangkan Radika akan menjadi pelatih timnya sendiri.
“Waktu itu aku bilang, kan, aku nggak mau berhenti. Aku mungkin udah gak bisa main basket sebagai anggota tim, tapi aku masih bisa main. Jadi aku putusin buat jadi pelatih aja.”
Dikecupnya bibir Aruna oleh Radika, senyum Aruna semakin melebar, senang. Demi apa pun Aruna sangat bahagia sekarang mendengar Radika tak benar-benar melepaskan basket dari hidupnya.
“Tadinya aku mau daftar buat ngelatih di sekolahan gitu, lalu kebetulan tim kamu gak punya pelatih jadi aku daftar ke sini dan akhirnya diterima.”
Aruna mengalungkan tangannya pada leher Radika, menempelkan bibirnya pada bibir milik yang lebih tua– sedikit lama lali menjauhkan wajahnya.
“Selamat atas pekerjaannya,” dia selalu ingin mengatakan ini. “Mas Dika.”
Radika tak mampu menyembunyikan senyumnya– wajahnya memerah.
“Apa-apaan? Aku kan belum kalahin kamu.”
Aruna, menggeleng. “Mas Dika.” Panggilnya lagi membuat wajah Radika semakin memerah membuat Aruna tergelak melihat Reaksi Radika, lucu, menggemaskan.
Radika selalu menang. Radika selalu berhasil memenangkan hatinya.