Gagak Hitam
tw // death threats, murder, gunshot
cw // character death
Terhitung dua hari lamanya Haruki terus tertidur, kelopak mata itu masih belum menunjukkan tanda-tanda akan terbuka.
Dokter mengatakan kemungkinan karena tekanan yang dialami hingga mempengaruhi psikis dan besar pula kemungkinan efek samping dari opium yang masuk ke dalam tubuh Haruki. Meskipun begitu, sebanyak apa obat itu masuk ke dalam tubuh Haruki hingga terus tertidur selama dua hari.
Oliver tahu betul siapa dalang yang merencanakan ini mengingat tempat, lokasi serta orang-orang yang mencoba memakai tubuh Haruki. Tak jauh-jauh adalah ayahnya sendiri.
Lelaki itu mendudukkan dirinya, bangkit dari tempat tidur.
“Ruby.” Panggilnya disusul dengan suara samar benturan antara kaki anak anjing dengan lantai– yang kini berlari dari kasurnya menghampiri Oliver.
Dia angkat tubuh anjing kecil itu ke pangkuannya. “Jagain Haru ya, aku mau keluar sebentar.” Ruby merespons dengan gonggongan kecil lantas beranjak dari pangkuan Oliver dan duduk di samping tubuh Haruki. Anjing itu terlalu pintar untuk seukuran anjing berumur dua bulan.
“Haru, aku pergi sebentar, ya.” Ucap Oliver pelan meski dia tahu Haruki tak akan menjawab kalimatnya.
Tangannya meraih selimut, menariknya hingga menutupi dada yang lebih muda. Membubuh kecupan singkat pada pipi Haruki sebelum dia melenggang pergi keluar kamar.
Oliver akan menghancurkan semuanya. Menghancurkan orang-orang yang menyakiti omega miliknya. Dia tidak akan bersikap lunak, akan dia bunuh satu persatu hingga tak bersisa.
Desing peluru menggema memekakkan telinga, darah berceceran dimana-mana. Rumah megah yang diisi barang-barang mewah kini terlihat tak lebih dari tempat jagal– porak-poranda, disertai mayat-mayat baru berserakan.
Oliver benar-benar menghabisi semuanya. Tidak dia biarkan satu orang pun lolos dari pandangannya. Meski pun mereka bukan orang-orang yang menyentuh Haruki secara langsung, namun selama orang-orang itu bekerja di bawah ayahnya, bagi Oliver mereka pantas untuk dia hancurkan.
Tidak mudah untuk melakukan ini sendirian, dia mungkin sudah mati jika melakukannya sendiri.
“Pergi, Ver. Biar gue sama Damian urus yang di sini.”
Oliver mengangguk. “Jangan mati.” Ucap lelaki itu sebelum menaiki tangga menuju lantai dua ke ruangan di mana Ayahnya berada.
Oliver kini berdiri di hadapan pintu kayu berwarna cokelat tua, tangannya mengetuk pintu sebelum menekan gagang pintu ke bawah dan mendorong daun pintu tersebut. Matanya sontak bertatapan dengan sang ayah yang duduk di tempatnya. Oliver melangkahkan kaki memasuki ruangan itu.
“Saya sudah pernah bilang, jangan pernah menyentuh milik saya.” Ujar Oliver sebagai kalimat pembuka seraya mengangkat tangannya yang menggenggam pistol, menodongkan senjata itu ke arah ayahnya.
“Apa untungnya dia bagi kamu? Dia tidak seperti Damian atau Willy yang mampu bekerja. Dia hanya serangga tidak berguna.” Balas yang lebih tua disertai kalimat penghinaan terhadap Haruki.
“Selama saya hidup jauh dari Anda, saya memahami sesuatu. Dalam hidup, cahaya dan kegelapan berdampingan, pekerjaan kotor tidak pernah luput dari kehidupan. Tetapi selama jauh dari Anda saya juga mempelajari banyak hal. Mempelajari emosi yang Anda hapus dari diri saya, belajar merawat seorang anak, memperlakukan orang lain dengan benar, memelihara anjing, menjadi manusia,” tutur Oliver.
Matanya tampak kosong, hampa, tatapannya lurus menghunus, menampilkan diri Oliver bak cangkang kosong tanpa emosi di depan sang ayah– persis seperti dirinya sebelum bertemu dan hidup bersama Haruki.
Tangan lelaki tua itu bergerak ke bawah meja, membuka laci hendak mengambil pistol namun tangannya lebih dulu tertembak oleh Oliver.
“dan saya mendapatkan kasih sayang dari dia serta menemukan alasan untuk hidup, yang tidak pernah saya dapatkan dari Anda.”
“Kamu tidak akan pernah lepas dari keluarga ini, Oliver. Ke mana pun dan sejauh apa pun kamu pergi saya akan membunuh kamu!” Ancam lelaki tua itu tersulut emosi.
“Tidak. Karena saya yang akan membunuh Anda terlebih dahulu. Keluarga Warren sudah berakhir dan Anda bisa beristirahat dengan tenang.”
Oliver kembali mengangkat senjatanya.
“Jadi selamat tinggal, Ayah.” Tutup lelaki itu disusul dengan suara tembakan berkali-kali, meluncurkan peluru yang kini melubangi dada ayahnya.
Kedua tangan lelaki tua itu terkulai ke samping badan, dia tertawa serta mengucap kalimat dengan lirih di penghujung nyawanya.
“Padahal dia senjata yang bagus. Ternyata anakmu memang manusia, Carla.”