Gelas Kaca
Untuk pertama setelah sekian lama, Sada katakan, ia lelah. Lelah menjalani hubungan yang ia sadari sudah semakin jauh dari kata sehat. Sering kali ia menyalahkan diri atas semua pertengkaran-pertengkaran yang terjadi antara dirinya dan kekasihnya, namun semakin lama berpikir ia merasa bahwa ini tidak masuk akal. Kesalahan-kesalahan yang ia anggap kesalahannya, kini terasa tidak wajar.
Mengapa semua kesalahan dilimpahkan padanya? Mengapa mereka harus bertengkar hanya karena ia berbicara dengan teman lamanya? Mengapa ia merasa bersalah atas kesalahan yang tidak ia lakukan? Mengapa selalu dirinya yang tersudut hingga harus meminta maaf sambil berlutut?
Ia selalu bertanya-tanya, apakah benar ini kesalahannya?
“Gue gak ngerti kenapa Kak Yuda harus semarah itu ke gue cuman karena gue disapa orang yang bahkan belum sempet gue sapa balik? Apa gak boleh kalo nyapa orang yang gak di kenal? Kenapa gue selalu salah? Gue gak ngerti, Cho, gue capek.”
“Sada, gue udah pernah bilang. Kalo menurut lo hubungan lo udah gak sehat, jangan dipertahanin. Ini cuman jadi beban buat lo, ngabisin tenaga lo, ngabisin emosi lo. Selama ini gue diem karena gue ngehargain lo, gue gak mau terlalu banyak ikut campur. Tapi sekarang lo udah keseringan kayak gini. Putus, Sada. Lo gak pantes dapet perlakuan kayak gitu.”
Putus. Sada memang pernah memikirkan hal itu, memikirkan untuk mengakhiri hubungannya dengan Yuda. Namun entah bagaimana, ia tidak bisa. Bukan karena alasan masih cinta, tetapi ia takut.
“Gue takut, Cho.”
“Apa yang lo takutin?”
Jika ditanya apa yang ditakutkan, Sada tidak dapat menjawab. Ia tidak tahu apa yang ia takutkan. Banyak alasan yang bisa ia gunakan untuk memutuskan hubungannya dengan Yuda, tetapi ia tidak bernyali — ia juga tidak ingin terus seperti ini.
“Gue gak tau. Gue gak berani.”
Sada benamkan wajahnya pada bantal, meredam isakannya yang lolos dari bilah bibirnya. Rasanya begitu sesak seolah ada tali yang mengikat, melilit, dan tidak membiarkannya menarik napas barang sedikit.
“Jangan nyakitin diri lo dengan cara kayak gini, Sad. Hubungan lo udah gak sehat banget, kalo terus dipertahanin lo juga yang luka.”
Jericho pandangi Sada yang berbaring tengkurap dan membenamkan wajahnya. Ia tidak pernah mengerti, mengapa Sada tetap menjalani hubungan meski pada akhirnya selalu terluka? Mengapa Sada memilih untuk berjalan di atas pecahan gelas kaca?