Ketika Hujan Tiba, Aku Memeluk Luka
Aroma petrikor yang semula dikatakan menenangkan adalah bualan belaka. Bau yang dihasilkan dari rintik berjatuhan dari langit mengguyur bumi hanya menambah sesak dalam paru. Semua kecamuk dalam dada mengamuk, seolah tak terima jika dirinya dibesuk oleh bau khas dari hujan yang berbenturan dengan aspal.
Dirga tidak pernah membenci hujan, tidak pula membenci petrikor. Hanya saja ia benci rasa sesak akan gaung yang dihasilkan hujan, ia benci akan segala-gala hal yang berkecamuk tatkala hujan datang.
Setiap-tiap rintik yang menghunjam kulit terasa perih, mencekik, sehingga ia hanya dapat terduduk termenung di pinggiran trotoar di temani genangan-genangan dihiasi riak memecah, udara berembus dingin, serta jalan diinvasi oleh sepi. Malam bungkam mengundang pertengkaran-pertengkaran dalam kepala menghasilkan suara ribut yang hanya dapat didengar olehnya.
Ah, mungkin seharusnya ia tidak terlahir ke dunia.
Mungkin jika seperti itu Brian tidak perlu susah payah membanting tulang mencari uang untuk menghidupinya. Brian tidak perlu berhenti kuliah, tak perlu pula berhenti menjadi anggota band yang menjadi hobinya.
Seharusnya Brian menjalani hidup lebih baik, jika tidak akan dirinya, mungkin saja. Seandainya ia tidak pernah terlahir, seharusnya ia menghilang saja. Semua kesialan yang menimpa sang kakak mungkin ditimbulkan karena kehadirannya.
Sungguh, berandai-andai tidak ada gunanya.
“Ruri, kenapa kamu hujan-hujanan? Nanti sakit.”
Dan lagi-lagi sosok itu selalu datang. Sosok manifestasi dari frasa malaikat baginya, sosok yang selalu saja hadir ketika dirinya merasa butuh seseorang mengulurkan tangan untuknya. Tidak peduli dengan di mana dan dalam situasi seperti apa, Sada selalu menjadi penolong baginya.
Sapuan tangan menyapu permukaan kulit dilengkapi dengan perasaan hangat dan tulus, yang demikian memang pantas sosoknya disebut sebagai perumpamaan seorang malaikat.
“Ruri, pulang, ya? Abang nungguin kamu di rumah. Kamu lagi ngapain di sini?”
Dirga tatap sepasang jelaga yang menjadi kesukaannya lalu menoleh ke belakang bawahnya di mana rel-rel kereta berada.
“Kak Sada, barusan kereta terakhir lewat.”
“Iya, aku tau. Memangnya kamu mau ke mana?”
Mengapa Sada bersedia mendengarkan omong kosongnya?
“Mau pergi. Tapi lupa kalo aku gak bawa dompet, aku juga gak bawa hp. Jadi cuma bisa liatin keretanya dari sini.”
Mengapa Sada tidak pergi saja? Bukan maksud ia ingin mengusir Sada, senang teramat sangat ia rasa ketika suara Sada menyapa telinga. Akan tetapi, mengapa Sada bersedia melakukan hal yang sama sekali tidak memberikan keuntungan baginya?
“Kamu mau pergi ke mana, Ruri?”
“Nggak tau. Yang penting jauh dari Abang, biar Abang gak perlu capek-capek kerja cari uang buat biayain orang kayak aku. Aku cuma beban buat Abang.”
“Ruri,”
“Botol bekas gak bisa terus-terusan dipake, kan, Kak? Ada saatnya buat dibuang juga.”
Payung yang semula Sada genggam, yang melindungi mereka dari hujan kini terjatuh, disusul dengan rengkuhan hangat menyelimuti tubuhnya.
“Kak Sada—”
Tidak peduli dengan hujan mengguyur tubuhnya, Sada tetap memeluk Dirga. Pemuda bertubuh besar ini lebih rapuh dari kelihatannya, lebih kecil dari perkiraan banyak orang — terlalu kecil, hingga dapat meringkuk di atas satu telapak tangannya.
“Ruri, ayo pulang!"