Melebur Debur

Wona Arcelia
3 min readJun 18, 2023

--

Hal yang pertama yang dilakukan Aruna ketika sampai di kamar hotel adalah membaringkan tubuhnya. Punggungnya pegal duduk selama berjam-jam di mobil padahal Radika mungkin lebih pegal karena lelaki itu yang menyetir sedangkan Aruna hanya duduk manis.

Radika menggelengkan kepala melihat tingkah kekasihnya. Mengambil tas milik Aruna yang dibiarkan tergeletak di lantai begitu saja oleh lelaki manis itu, meletakkannya di meja lantas berjalan menghampiri Aruna dan ikut membaringkan tubuhnya.

“Capek banget?” Tanya Radika yang kemudian mendapat gelengan kepala dari Aruna.

“Nggak. Pegel, punggung aku sakit.”

Inilah alasan mengapa Aruna sangat malas untuk menyetir terlebih jika itu jarak yang cukup jauh. Punggungnya selalu sakit ketika harus duduk selama berjam-jam. Aruna lebih senang melakukan latihan fisik selama satu hari penuh daripada harus duduk menyetir selama beberapa jam.

Dengan demikian, Radika mengarahkan tangannya pada punggung Aruna, memberikan pijatan kecil.

“Tidur aja dulu, nanti sore kita jalan-jalan.”

Aruna merangsek masuk menyamankan diri di pelukan Radika, mendusalkan kepalanya pada dada yang lebih tua dan kemudian perlahan terlelap.

Radika terbangun kala merasakan air menetes ke keningnya. Kelopak matanya perlahan terbuka sontak menemukan wajah Aruna dengan handuk menutupi kepala kekasihnya.

“Runa, rambut kamu, sayang.” Protes yang lebih tua sebab air dari rambut Aruna terus menetes dan mendarat di wajahnya.

Aruna menegakkan tubuhnya, menggoyang-goyang lengan yang lebih tua. “Ayo bangun! Katanya mau jalan-jalan.”

“Sebentar lagi, aku ngantuk.” Ujar yang lebih tua seraya menarik pinggang Aruna hingga yang lebih muda terbaring di atas tubuhnya. Dia peluk tubuh Aruna lalu kembali memejamkan mata.

“Ih ayo bangun, udah sore, udah jam lima!”

Hanya dengungan singkat yang Radika berikan sebagai jawaban membuat yang lebih muda merengut. Aruna menangkupkan tangannya pada kedua sisi wajah Radika, mendekatkan wajahnya, menempelkan bibirnya pada bibir Radika.

Sudah biasa jika Radika yang mencium Aruna, tetapi ini merupakan sebuah momen langka Aruna menciumnya lebih dulu.

Ketika Aruna hendak menjauhkan wajahnya namun tangan Radika bergerak cepat menahan tengkuk Aruna, melumat dan memperdalam ciumannya.

Cukup lama mereka saling melumat hingga Aruna merengek kehabisan nafasnya.

“Udah, ayo bangun.”

Radika akhirnya bangun, beranjak dari tempat tidur lantas melangkah kakinya menuju kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan diri dan bersiap-siap, keluar dari hotel. Berjalan beriringan sedikit menjaga jarak. Tentu saja inginnya Radika menggenggam tangan Aruna, namun dia tidak bisa melakukannya sebab terlalu banyak orang di sekitar.

Ketika jalan yang mereka tapaki telah berubah menjadi pasir, Radika meraih tangan Aruna, menggenggamnya. Tidak masalah, tinggal segelintir orang yang masih berada di pesisir pantai dan mungkin tidak ada yang mengenali mereka.

Radika tiba-tiba mengangkat tubuh Aruna, berkali-kali mencoba menjatuhkannya ke air. Aruna perpegangan erat, melingkarkan kajinya ke pinggang yang lebih tua.

“Jangan! Nanti sepatu aku basah, aku gak bawa sepatu lagi.” Ucapnya seraya merengut.

Radika tertawa lantang betapa lucunya kekasihnya ini. Dia hanya bercanda, tidak benar-benar akan menjatuhkan Aruna ke air.

Keduanya saling menatap, tersenyum hangat, masih dengan posisi yang sama di tempat yang sama. Akhirnya, mereka sedikit leluasa untuk menghabiskan waktu bersama. Setidaknya di sini mereka sedikit melupakan tentang peraturan sialan yang membatasi mereka. Setidaknya, di sini, mereka tidak perlu khawatir seseorang akan memergoki mereka berciuman ditemani rona jingga.

“Happy anniversary, sayang.”

--

--