Memantik Api
Suhu di ruangan itu berubah-ubah setelah kedatangan Halim ke rumahnya. Terkadang panas, terkadang dingin menusuk kulit. Lebih lagi aura kemarahan Halim yang tercetak jelas dalam air muka lelaki itu, lumpuhkan keberanian Aruna untuk berbicara. Aruna hanya duduk di samping Radika menunggu Halim berbicara yang kini masih sibuk bertukar pesan entah dengan siapa.
Sebagai kapten, sudah merupakan hal yang wajar jika Halim ingin menjaga timnya tetap utuh dan hubungan Aruna dengan Radika dapat menjadi suatu pemicu yang menyebabkan kemungkinan timnya runtuh.
Radika pun tahu akan hal itu, tidak perlu repot-repot memberi tahu sebab sejak awal dia menjalin hubungan dengan Aruna dia sudah memikirkan banyak hal yang harus dia pertimbangkan. Dia juga seorang kapten, sedikit banyak dia tahu apa yang ada di dalam kepala Halim.
“Tangan lo gimana, Run?” tanya Halim tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Udah nggak apa-apa.” Balas Aruna, memegang pergelangannya.
Hening, lagi. Aruna semakin merasa gugup, tangannya kini mendingin, dia mulai memikirkan hal-hal aneh. Kemungkinan-kemungkinan yang akan dikatakan oleh Halim entah itu memarahinya atau menyuruhnya untuk berpisah dengan Radika.
Aruna meraih tangan Radika, menggenggamnya, takut. Dia tidak ingin berpisah dengan Radika.
“Gak usah pacaran di depan gue.” Ucap Halim kala menangkap pemandangan tangan Aruna yang menggenggam tangan Radika. Sontak Aruna melepasnya, merengut.
Halim menatap kedua orang itu bergantian, mengambil nafas panjang sebelum kembali berucap.
“Lo pasti udah tau kan resiko pacaran sama tim lawan itu apa? Taruhannya tim, Run. Lo yang pacaran, yang kena imbasnya semuanya. Lo mikir gak akibatnya kalo foto itu kesebar ke mana-mana? Gimana kalo Jiresa waktu itu gak bikin tweet kayak gitu? Gimana kalo orang-orang gak percaya sama tweetnya Jiresa? Masih untung fotonya gak jelas jadi orang-orang percaya sama dia.”
Aruna menunduk. Semua yang Halim katakan memang benar, dia pun memikirkannya. Meski Jiresa sudah membantunya dan orang-orang mempercayai apa yang dikatakan Jiresa, dia masih belum merasa lega.
“Gimana kalo pelatih sama manajer tau hubungan kalian? Gue bukan nakut-nakutin, tapi, gimana kalo beneran kejadian? Yang bukan lo doang, gue, anak-anak juga. Lo gak liat kejadian yang udah-udah?”
“Maaf...” lirih Aruna masih dengan kepala menunduk, tak berani menatap Halim.
“Gue gak butuh maaf lo!”
“Halim, gue tau lo khawatir. Gue juga kapten, gue ngerti maksud lo. Tapi maaf, sampai kapan pun gue gak akan pisah sama Aruna.” Terang Radika tegas penuh penekanan.
“Gue gak akan nyuruh kalian pisah. Gue juga punya pacar, kalo gue jadi kalian juga gue gak akan mau pisah sama pacar gue. Tapi, kurangin intensitas ketemu kalian, apa lagi ketemu di luar.”
Halim menghela nafas panjang. “Kalo pelatih sama manajer tau, gue gak akan bisa bantuin lo, Aruna.”