Pada Hari Aku Bertemu Denganmu, Aku Menjadi Manusia
Perihal bagaimana seseorang mempresentasikan kata manusia, sudah pasti itu menjadi bahasan panjang dan tak ada habisnya. Sebab akan menjadi topik panjang tak terhingga jika hanya dipresentasikan dengan kata-kata. Ada yang bilang manusia itu makhluk dengan pola pikir luas, memiliki serta hati nurani sehangat cahaya baskara untuk merengkuh sesama. Ada pula yang menyebutkan bahwa manusia itu hanya makhluk ego dengan harga diri begitu tinggi, dan selalu bekerja keras demi meraih ambisi.
Lalu, apakah Oliver masih bisa dikategorikan sebagai manusia?
Manusia mana yang masih bisa menikmati sebatang rokok ketika dirinya berlumuran darah? Manusia mana yang tanpa berbelas kasih menghabisi nyawa satu keluarga? Manusia mana yang berjalan menginjak mayat-mayat yang tak berdaya layaknya seekor serangga yang tak pantas untuk hidup di dunia?
Hati nurani? Ambisi? Oliver tak memiliki itu dalam hidupnya. Dia hanya cangkang kosong tanpa emosi.
Mungkin jika terlahir dan tumbuh di lingkungan semestinya Oliver bisa menjadi manusia. Tetapi sialnya dia harus terlahir sebagai putra dari seorang pemimpin salah satu kelompok mafia, dan tumbuh dengan didikan keras.
Oliver bahkan tidak tahu apakah itu bisa disebut didikan atau tidak.
Dia dipukuli sejak usianya menginjak lima tahun– dengan alasan mengajari bela diri sebagai pelatihan untuk meningkatkan kekuatan fisik, dipaksa menyaksikan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan ayahnya. Pernah pula dia dikurung, dikunci di luar rumah hingga mau tak mau harus memilih untuk tidur di kandang anjing, tidur bersama anjing kecil miliknya.
Oliver menjadi bengis sejak dini.
Terkadang dia bertanya-tanya, apakah benar hidupnya harus seperti ini?
“Semuanya sudah selesai. Waktunya pergi, Tuan muda.”
Oliver hembuskan asap rokok dari batang nikotin yang dia hisap.
“Bakar semuanya.” Titah Oliver pada orang-orang yang menjadi bawahannya lantas berjalan keluar rumah yang pemiliknya sudah dia habisi beberapa waktu yang lalu, melangkahkan kakinya menuju mobil.
Begitu lah hidup Oliver. Dia sudah membunuh banyak orang usianya yang kini masih lima belas tahun– yang tentu saja atas perintah ayahnya.
Oliver hanya boneka.
Meski terkadang dia merasa tindakan seperti ini tiada guna baginya. Apa yang dia lakukan setelah membunuh musuh-musuh ayahnya? Apakah dia akan mendapatkan kehidupan yang normal? Walau dia tidak tahu apa arti hidup normal itu sendiri. Bagi Oliver, tidak ada yang normal di dunia ini.
Termasuk juga dirinya.
Melihat remaja-remaja seusianya masih mengenakan seragam sekolah, menggendong tas berisi buku-buku pelajaran, sedangkan dirinya hanya mengantongi pistol, peluru, dan benda tajam lainnya.
Oliver benar-benar berpikir untuk apa dia hidup seperti ini. Perihal apa yang dia inginkan saja, dia tidak tahu.
Sampai suatu hari ketika dia sedang berada di pelabuhan, mengawasi transaksi obat-obatan terlarang, dia memiliki satu keinginan. Tepatnya ketika melihat seorang anak laki-laki dengan pakaian kotor, kumal, serta rambut panjang berdebu, tengah meromok di gang sempit seraya memakan koran.
Yang berada dalam pikiran Oliver saat itu hanya bayangan dirinya yang dikunci di luar rumah. Anak itu mengingatkan pada dirinya ketika masih kecil. Ditinggalkan, diabaikan, dibiarkan kedinginan ketika hujan.
Oliver lantas melangkahkan kakinya lebar-lebar mencari roti lalu kembali menghampiri anak itu, berjongkok di hadapannya– mengulurkan sebungkus roti yang dia beli.
Takut-takut anak itu menatap Oliver dengan mulut yang penuh dengan kertas koran. Tangan kecilnya meraih roti itu ragu-ragu, mengendusnya berkali-kali sebelum melahapnya. Sore itu Oliver duduk di gang sempit bersama anak kecil yang dia temui, memakan roti bersama-sama tanpa mengeluarkan sepatah kata pun– dia tidak peduli dengan pengawal yang mencari-cari dirinya.
Akhirnya Oliver memutuskan untuk membawa anak itu pulang. Tidak perlu takut ayahnya murka sebab mereka tinggal berjauhan di rumah yang berbeda.
“Ayo mandi, kamu kotor, bau.” Ucap Oliver sesampainya di rumah seraya meletakkan kedua tangannya di bawah ketiak anak itu lantas mengangkatnya.
“Tuan, biar saya saja yang mandikan.” Ucap satu-satunya pelayan di rumah itu yang selalu merawat Oliver. Panik, wanita itu tela merawat Oliver sejak kecil, tahu betul bagaimana anak remaja itu. Takut-takut jika yang akan dilakukannya adalah sesuatu yang membahayakan nyawa anak itu.
“Tidak apa, Bi. Aku saja. Siapkan saja maka malamnya.” Putus Oliver lantas membawa anak itu menuju kamar mandi, memandikannya. Meski awalnya anak itu memberontak saat menyentuh air hingga pakaian yang Oliver kenakan basah, namun akhirnya tenang ketika tubuh kecilnya diselimuti busa dari sabun dan sampo.
Sungguh rasanya seperti dia sedang memandikan anak kucing. Anak itu tak suka diguyur air.
“Kamu punya nama? Siapa namamu?” Tanya Oliver seraya mengambil kaus hitam miliknya dari dalam lemari– karena dia tak memiliki pakaian untuk anak kecil. Lantas dia membantu anak itu memakai pakaian, mengangkat anak itu agar duduk di tempat tidur lalu mengeringkan rambut pajangnya.
Si kecil memiringkan kepalanya, mengerjap-ngerjap matanya.
“Tidak punya nama?” Anak itu hanya terdiam, terlihat begitu kebingungan dalam raut wajahnya.
“Kamu bisa bicara?”
“Bi– bi... sa.” Jawab si kecil terbata.
Oliver berpikir sejenak, akan merepotkan jika anak ini tidak memiliki nama. Bagaimana dia bisa memanggilnya jika naka itu tidak memiliki nama?
Dia tatap lekat-lekat anak mata di hadapannya, mengingatkannya pada sesuatu–
“Kalau begitu, mulai sekarang, namamu Haruki.”
Mengingatkannya pada anak anjing miliknya yang kini telah tiada.
“Ha... ru... ki?”
Mungkin tidak seharusnya dia memberi mana anak itu dengan nama anjing miliknya. Haru, nama anjingnya dan dia hanya menambahkan satu suku kata di belakangnya.
“Ayo kita makan, Haruki!” Ajaknya kemudian menggendong Haruki. Begitu kecil, ringan, tiba-tiba terpikir olehnya bagaimana jika yang di makan anak ini selama ini hanya koran?
Semenjak itu Oliver tinggal bersama Haruki, anak yang dia bawa pulang, dan untuk pertama kalinya dia memiliki keinginan sendiri. Dia ingin menyelamatkan Haruki, seperti dia ingin menyelamatkan dirinya sendiri di masa lalu.
Saat itu, sejenak, Oliver bisa merasakan rasanya menjadi manusia.